Sunday 26 February 2012

Dongeng Nyi Anten Bagian 1

Dikisahkan pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang gadis bernama Nyi Anten. Ia hanya hidup berdua dengan dengan ibunya di sebuah desa yang terletak di perbatasan kerajaan Pakuan Pajajaran. Kondisi hidup mereka hanyalah pas-pasan, tidak kaya dan tidak miskin. Pekerjaan sehari-hari mereka, bercocok tanam di sebidang tanah peninggalan mendian ayahnya yang sudah lama meninggal. Oleh karena mereka rajin dan giatdalam mengolah pertanian, sehingga meskipun tidak kaya, namun hidupnya tercukupi.

Mendiang ayah Nyi Anten dulunya adalah seorang prajurit kerajaan Pakuan Pajajaran dengan pangkat terakhir tamtama. Ayah Nyi Anten mempunyai sifat yang jujur dan penuh pengabdian terhadap raja. Namun naas menimpa beliau ketika sedang memerangi pemberontakan, beliau tewas bersama beberapa prajurit lainnya.

Oleh karena kesetiaannya, ibu Anten tidak pernah berfikir untuk mencari suami lagi. Sudah banyak lelaki yang bermaksud untuk memperisteri ibu Anten, namun semuanya ditolak dengan halus. Ibu Anten bertekad akan membesarka dan mencurahkan seluruh perhatiaannya terhadap Nyi Anten sendirian.

Saat ini, Nyi Anten sudah menginjak masa remaja. Nyi Anten mempunyai paras yang tidak terlalu cantik namun juga tidak buruk. Meskipun hanyalah seorang gadis desa yang miskin, namun Nyi Anten pandai membawa diri dan luwes dalam berdandan. Banyak pemuda yang sudah menaruh perhatian terhadapnya.

Dari sekian banyak pemuda yang menaruh perhatian terhadapnya, hanya seorang pemuda yang mendapatkan tempat di hatinya. Pemuda itu adalah seorang anak kepala desa yang gagah dan tampan serta rendah hati. Pemuda itu bernama Ki Jaka, dan mereka berdua sudah berikrar untuk saling setia.

Namun pada suatu hari, Ki Jaka mengatakan bahwa dia akan pergi ke pusat kerajaan dalam waktu yang lama. Tentu saja hal ini mengejutkan bagi Nyi Anten. Ki Jaka mencoba untu menjelaskan maksud kepergiannya adalah untuk memenuhi panggilan hatinya untuk menjadi prajurit kerajaan. Nyi Anten terdiam beberapa saat. Dia teringat akan mendiang ayahnay yang gugur sewkatu jadi prajurit kerajaan.

“Aku teringat mendiang ayahku, akang… Takut kalau Akang nantinya akan seperti ayahku dulu.” Demikian kata Nyi Anten dengan diiringi isakan tangisnya.

“Mengapa kau justru menangis, Anten? Seharusnya kau bangga, semoga kau menangis semata-mata karena kecinataanmu terhadap akang, nyi.” Sahut Ki Jaka.

Dengan tersenyum penuh kesabaran, diusapnya air mata Nyi Anten seraya mengatakan: “Nyi, percayalah kematian ayahmu merupakan kematian seorang kesatria, lagi pula kapan datangnya kematian itu bukan kita yang tahu, tapi Yang Maha Kuasa yang mengetahuinya.”

Akhirnya, Ki Jaka minta agar Nyi Anten melepas kepergiannya agar tercapai cita-cita mulianya tanpa hambatan apapun. Dan Ki Jaka tidak akan kembali jika cita-citanya belum tercapai. Untuk mengikat kesetiaannya, Ki Jaka memberikan cincin “wesi kuning” di jamari Nyi Anten.

“Apa arti cincin ini, Akang?” tanya Nyi Anten polos.

“Cincin ini memang hanyalah wesi kuning (kuningan) bukan emas, bukan permata. Namun pada cincin inilah harapan kita terpatri. Jika cincin itu kau tanggalkan dari jari manismu, atau hilang berarti tidak ada harapan lagi buat kita untuk meneruskan kesetiaan kita. Untuk itu, jika kau setia maka jangan kau tanggalkan atau kau hilangkan cincin itu, Nyi.” Demikian jelas Ki Jaka.

Maka berangkatlah Ki Jaka dengan langkah yang mantap, penuh harapan dan ambisi. Sementara Nyi Anten dengan tangis terisak sambil memandangi cincin yang di jari manisnya. Seolah cincin ini telah mengikat dan membelenggu hatinya untuk tidak bergeming ke lain hati. Sementara, sepeniggal Ki Jaka dari desanya, banyak pemuda desa yang menaruh perhatian dan berusaha mendekati Nyi Anten. Bagai kumbang-kumbang yang mengincar bunga. Namun Nyi Anten masih tetap teguh hati dan berusaha menghindar dengan cara yang halus.

Hari berganti hari, hingga bulan berganti, namun Ki Jaka belum juga pulang. Hanya terdengar kabar bahwa Ki Jaka telah diterima menjadi prajurit kerajaan. Hanya saja dia belum bisa pulang karena masih dalam masa penggemblengan. Meskipun hatinya maupun hati Nyi Anten sangat ingin bertemu dengannya, namun demi cita-citanya maka harus rela menunda pertemuannya.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Hingga akhirnya Nyi Anten mendapat sahabat baru Nyi Anih, anak Ki Sura seorang pedagang rempah-rempah dari desa lain yang menjadi tetangga barunya. Nyi Anten dan Nyi Anih bersahabat sangat intim dan akrab, boleh dibilang di mana ada Anten di situ ada Anih. Satu hal yang membuat Anten menjadi gembira karena ada teman untuk menghilangkan rasa rindu dan kesepiannya terhadap Ki Jaka.

Tidak terasa hampir dua tahun Ki Jaka meninggalkan Nyi Anten, hingga suatu hari ibu Nyi Anten tiba-tiba merasa lemas tidak berdaya dan tidak bisa ke kebun seperti biasanya. Nyi Anten harus menggantikan tugas ibunya, ke kebun, memasak, mencuci dan memberi makan hewan piaraannya.

Pada suatu hari, Nyi Anten pergi ke sungai dengan membawa bakul berisi pakaian kotor dan perabotan dapur untuk dicucinya. Di perjalanan dia bertemu dengan Nyi Anih sahabatnya. Nyi Anih minta agar Anten datang ke rumahnya. Berhubung Nyi Anten ada tugas maka dia tidak bisa ke rumahnya dan akan datang ke rumahnya jika tugasnya sudah selesai.

Nyi Anten meneruskan perjalanannya dan melakukan tugasnya. Tiba-tiba Nyi Anten merasa ada yang aneh dengan dirinya, ada yang berbeda dari dirinya. Dia tidak tenang dan merasa bahwa perasaanya terhadap Ki Jaka sepertinya berbeda dari biasanya. Dalam hatinya bertanya-tanya ada apa dengan Ki Jaka. Perasaannya cemas, sehingga tidak ceria nampak murung, tidak seperti gadis-gadis lain yang berada di sungai itu.

Ketika tengah sibuk dengan fikirannya dan pakerjaanya mencuci, tiba-tiba terdengar teriakan yang asalnya dari desanya. Sejenak terlihat asap mengepul kian membesar dari arah desa Nyi Anten.

Bergegaslah semua orang termasuk Nyi Anten yang sedang mencuci, lari dengan kepanikan dan teriakan-teriakan. Nyi Anten pingsan karena melihat rumahnya telan hampir hampir dimakan api. Desa Nyi Anten telah diserang oleh pemberontak. Pasuka pemberontak meluluh-lantakkan desa, sambil berkuda pasa pemberontak berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan senjata dan membakar rumah penduduk.

Nyi Anten ditolong oleh keluarga Nyi Anih sahabatnya, sementara ibunya tewas di dalam rumahnya yang hangus terbakar. Bagi penduduk yang sempat lari maka selamat, namun yang tidak sempat lari mereka ditangkap dan disiksa oleh para pemberontak itu.

Nyi Anten mengungsi di suatu tempat bersama keluarga Nyi Anih dan beberapa penduduk yang sempat lari. Dalam pengungsian, Nyi Anten merasa hatinya remuk redam atas kematian ibunya, sehingga merasa tidak punya siapa-siapa di dunia ini. Hingga akhirnya Nyi Anten diajak mengungsi ke desa asal Ki Sura. Meskipun sangat jauh, namun desa asal Ki Sura aman dari gangguan pemberontak.

No comments:

Post a Comment